Setelah sebelumnya aku sempat beberapa kali ikut Les Menulis bersama Kak Izzati, kali ini di bulan Oktober, aku mencoba ikut sesi Les Menulis spesialnya. Kenapa disebut sebagai Les Menulis Spesial? Karena 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia dan les menulis ini bisa sebagai terapi untuk teman-teman yang mungkin punya unek-unek yang belum bisa tersampaikan di dunia nyata.
Sebetulnya, nggak cuma yang punya unek-unek aja sih yang bisa ikutan. Buat kamu yang suka menulis dan ingin menambah skill menulis juga bisa join, kok. Jadi, sebenernya nggak ada persyaratan khusus pendaftar harus seperti apa.
Aku sendiri ikut les menulis ini karena mau mengasah skill dan tentu ingin dapat insight tentang writing as therapy supaya nanti aku bisa mengenali emosi yang ada di diriku dan bisa menuliskannya dengan apik. So, here's my writings untuk di Sesi 1: Takut dan Kecemasan. Aku tuliskan hal-hal seperti ini untuk setiap prompt yang diberikan.
***
Tulis tentang diri kamu
Aku Inas dan aku memiliki adik. Alhamdulillah sudah lulus dari bangku perkuliahan. 24 tahun menjalani hidup, aku sudah bertemu bermacam-macam orang, sebagian baik dan sedikit darinya kurang baik. Tidak apa-apa, yang penting aku masih bersama teman-teman terdekat dan masih memliki keluarga yang hangat, serta hebat. Di umur 24 tahun ini, aku sedang bekerja di salah satu perusahaan teknologi. Aku bersyukur karena memiliki lingkungan kerja yang baik, atasan yang suportif, teman-teman yang terbuka terhadap kritik dan saran, serta adanya penerapan sistem work from anywhere.
Well, jujur di prompt pembukaan ini, aku bingung mau menuliskan deskripsi diri aku seperti apa. Most of us are not really well to describe ourselves, aren't we? Atau mungkin cuma aku ya... Not a good start to write, yet not a bad one though. Ini hanyalah prompt pembuka untuk pemanasan. Jadi, pengenalan diri sekilas menurutku sudah cukup.
Hari ini sudah ngapain aja?
Beberapa hari ini, aku banyak bekerja, mengetik, dan melihat tabel-tabel. Meskipun begitu, aku tidak lupa menulis, barang satu-dua paragraf di halaman Notion-ku. Beberapa hari terakhir juga, badanku masih demam ketika hari menjelang siang. Sepertinya ini akibat luka di dengkul akibat kecelakaan bulan lalu. Kata ibu, demamku akibat getah di luka itu menggumpal dan bisa jadi ada bakteri infeksi. Beliau membantuku membersihkan luka sehingga saat sore di hari Kamis, demam saya mulai mereda. Teman kerjaku juga baik-baik. Dari jam 9 pagi, aku dibantu untuk testing aplikasi dengan sabarnya. Daya pikirku yang tidak cepat ini bisa dengan baik menerima apa yang kupelajari di hari ini. Senang rasanya, satu beban di pekerjaan terselesaikan. Selebihnya, hari ini aku masih ditemani panas-dingin suhu tubuh yang tak tentu. Tidak apa-apa karena malamnya ibu membawakanku segelas jahe hangat saat mengikuti les menulis.
Pertanyaan kedua membuatku teringat akan demamku dan otomatis membuatku bersyukur, ternyata aku bisa mulai membaik di malam hari. Pertanyaan kedua ini sederhana, tapi kok kayanya mengingatkan aku terhadap rutinitas lama, ya? Hehehe. Dulu, waktu kuliah, aku terbiasa menuliskan kegiatan apa yang mau/sudah dilakukan di hari itu dalam sticky notes kecil.
Akhir-akhir ini, aku sudah tidak menuliskan hal seperti itu lagi dan agak sedikit menyayangkannya. Biasanya kegiatan tidak penting pun bisa menjadi sebuah pencapaian kecil untuk menutup hari. Sesederhana: "Hari ini selesai menonton series K-Drama Attorney Woo"
Momen Takut atau Cemas yang telah dilalui (bisa jadi tiga bulan lalu, enam bulan, minggu lalu, kemarin, atau hari ini)
Sebetulnya, akhir-akhir ini aku merasa baik-baik saja. Namun, di pertengahan Oktober, ternyata hidup mulai membuat cerita yang lain; berita tentang resesi di Indonesia pada tahun 2023. Perasaan cemas mulai muncul. Aku memikirkan bagaimana masa depanku dan adik-adik untuk beberapa tahun kedepan? Aku belum menikah, dan belum punya bisnis. Jika, sesuai dengan apa yang ada diinternet, maka aku mencatat:
Umur 24 tahun
Aku belum punya 100jt,
belum punya rumah,
dan juga belum punya kamu.
Ayah dan Ibu semakin menua dan adik-adik tumbuh besar dengan cepatnya. Apa aku bisa memberi perhatian yang cukup untuk keluarga, layaknya Ayah dan Ibu yang biasa lakukan di hari-hari kemarin? Aku masih muda dan ingin melakukan banyak hal. Tapi, terkadang ada hal-hal yang kurasa kurang sehingga membuatku takut untuk keluar dari rumah. Pun jika aku keluar dari rumah, jauh dari Ayah dan Ibu, mengelilingi jalanan atau kota-kota impian, bisakah aku melindungi diri sendiri? Aku sering bertanya-tanya, sekuat apa diriku untuk kedepannya? Karena akhir-akhir ini saja, memasuki usia 20 ke atas, aku sudah banyak menangis dibanding dengan saat aku berumur 13 tahun.
Disclaimer: Jangan terlalu menjadikan ini patokan yah... Karena, sebenarnya bait dalam teks ini adalah metafora dari satu fenomena yang sempet viral di Instagram, dimana ada satu akun yang memposting bahwa, usia 25 tahun idealnya punya tabungan Rp100 juta, cicilan rumah sisa 20% lagi beres, punya kendaraan pribadi, dan gaji minimal 8 juta. Aku nggak bilang kita harus punya tabungan 100jt atau punya rumah atau sudah menikah. Bait yang kutuliskan hanyalah metafora dari pandangan seorang Inas di umur 24 tahunnya.
Pikirkan hal terburuk dari momen takut/cemas yang kamu tuliskan barusan. Seperti apa kejadiannya? Apa yang terjadi di sana?
Tiga poin yang aku tuliskan sebelumnya:
Umur 24 tahun
Aku belum punya 100jt,
belum punya rumah,
belum punya kamu.
Belum punya 100jt, aku takut jika suatu ketika adik-adik tidak mendapatkan fasilitas pedidikan yang sama denganku, lalu apakah bisa dikatakan aku menjadi kakak jahat yang egois? Lalu, jika Ayah dan Ibu mulai menua, jatuh sakit, apa yang bisa aku lakukan dengan asuransi kesehatan dan tunggakan penebus obat? Aku saja belum tahu adminitrasi asuransi seperti apa dan bagaimana menggunakannya. Apakah itu seperti Kartu Debit? Entahlah.
Aku juga belum punya rumah. Maka, jika aku butuh waktu sendiri, aku harus pergi ke mana lagi? Sama seperti cerita petualangan Nakata dari tulisan Murakami dalam bukunya Kafka On The Shore, "Aku tidak perlu penginapan yang bagus. Yang kubutuhkan hanyalah atap yang dapat melindungi ku dari hujan dan dinginnya malam."
Begitu juga aku. Aku tidak perlu rumah yang besar. Yang penting, pembangunan rumahnya bisa kubayar lunas. Rumah yang aman, nyaman, dan hangat. Tapi, aku masih tidak tahu apakah aku mampu membayar cicilan KPR di tengah inflasi yang selalu meningkat tiap tahunnya? 100jt saja aku belum punya. Jika hingga nanti aku belum punya rumah, berarti aku akan selalu pulang kembali ke rumah orangtua. Iya, jika rumah orangtuaku akan selalu dalam keadaan baik. Tapi, bagaimana jika rumah yang kutinggali sekarang kelak menjadi penuh dengan barang-barang, akuarium tak terpakai, dus-dus snack kadaluwarsa, mesin jahit berkarat, dan ceceran pensil warna yang patah? Maka, aku harus punya rumahku sendiri.
Dan, selain belum punya rumah, aku belum punya kamu. Aku belum punya seorang kamu secara resmi. Apakah aku tetap harus menunggu hingga umurku menjadi 28 tahun? Ibu bilang, Ibu ingin ada seseorang yang melindungiku. Jika bukan kamu, lalu siapa? Haruskah, aku dengan diri sendiriku lagi, menanam rasa was-was di tengah ibu kota, dan KRL-nya yang selalu penuh di jam berangkat dan pulang kerja?
Di sini, aku menuliskan banyak menuliskan metafora. Metafora yang kutuliskan dalam bait (yang juga kusebutkan di jawaban prompt sebelum ini) yaitu sebagai seorang berumur 24 tahun, maka pertimbangan hidup saat ini adalah keuangan (untuk mencukupi kebutuhan hidup, membantu keluarga, mendukung fasilitas kesehatan, dan pendidikan), papan, dan pasangan —khususnya hidup sebagai orang yang tinggal di Jawa Timur, menikah layaknya suatu goals yang ditentukan oleh umur.
Karir yang belum stabil tentunya memiliki posisi utama. Ditambah bisikan A dan B yang bertanya, "Kenapa nggak bekerja sebagai ini saja? Itu saja?" Oh, wow.... Jika diibaratkan sebagai seorang anak yang sedang mengahadapi ujian, maka nilaiku 0 karena aku mengosongkan lembar jawabanku.
Belum punya rumah.
...penuh dengan barang-barang, akuarium tak terpakai, dus-dus snack kadaluwarsa, mesin jahit berkarat, dan ceceran pensil warna yang patah?
Sebagai seorang manusia yang tumbuh dewasa, berkumpul dengan keluarga tentunya adalah hal yang menyenangkan. Tapi, di satu sisi, aku juga butuh privasi dan aku butuh untuk tetap tumbuh dengan mandiri. Ini adalah metafora ketakutanku, jika suatu saat aku hidup merantau dan belum punya rumah sendiri, maka aku akan sering pulang. Iya, jika aku pulang dengan keadaan rumah yang baik dan masih rapi, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Tapi, bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku pulang dan mendapati rumahku 'tidak sebaik' saat aku pergi? Apakah aku sudah siap dalam mengahadapinya? Sesiap apa? Akan seperti apa perasaanku, ketika akhirnya harus kembali lagi ke perantauan dalam keadaan rumah yang sudah tidak lagi sama seperti sebelumnya.
Life will always give you surprises. Between the good case and the worst case, I think the worst case first sometimes.
Kemudian, aku tuliskan juga, belum punya kamu, yang menandakan bahwa aku belum menikah. Karena belum menikah, maka aku memiliki tanggungjawab penuh terhadap rasa aman dan nyaman terhadap diri sendiri.
Ceritakan posisimu dalam sudut pandang orang ketiga, yang menceritakan kenapa kamu punya rasa takut dan cemas. Adakah pengalaman/ajaran/pengajaran di masa lalu, yang bikin kamu punya rasa cemas/takut tersebut?
Bagaimana rasanya menjalani hari-hari yang berat tapi ada soerang yang kelihatannya selalu biasa saja? Itulah yang kulihat dari dirinya. Teman-temanku bilang, dia terlalu serius, namun kurasa tidak begitu. Ia cukup lucu bagi seorang perempuan di usianya.
Di prompt ini, jujur aku agak kesusahan melihat diriku dari sudut pandang orang lain. Prompt ini juga bisa diterjemakan dalam pertanyaan, "Kita ingin dilihat seperti apa sih di mata orang lain?" Maka, kutuliskan beberapa opini yang pernah kudengar tentangku dan validasinya.
Selain sudut pandang orang lain, ada pertanyaan menyangkut pengalaman apa yang kupunya, yang akhirnya membuatku menuliskan kecemasan dan ketakutan di prompts sebelumnya. Seketika, aku lupa ajaran apa yang membuatku menumbuhkan rasa cemas/takut terahadap sesuatu. Menurutku, rasa takut/cemas kali ini memang timbul dari pemikiranku sendiri —sebagai seorang di umur 24 tahun yang mencoba realistis dan mulai merencanakan hidupnya untuk beberapa tahun kedepan.
Kalau mengingat kilas balik, waktu aku dapat tugas kuliah, tugas magang dulu, beberapa orang bilang kalau aku itu nggak panikan dan berani. Well, dari aku, sebetulnya panik/takut itu ada, aku rasakan dan biasanya cukup menekan diriku dalam beberapa waktu. Cuma aku nggak menenjukkan sebegitunya —di saat itu. Aku nggak mau rasa panik/takut itu ada terus dan mencoba mengubah kepanikan/ketakutan dalam diriku menjadi hal lain. Gimana nih caranya biar nggak panik terus? Jadi, aku tetap mengerjakan pekerjaanku dengan rasa panik, sampai akhirnya panik itu hilang sendiri.
Dari kelas menulis juga ada yang sempat bertanya, "Bagaimana jika kita takut saat melakukan suatu pekerjaan?" Kak Mufidah pun menjawab, "Nggak ada yang nyuruh kamu mengerjakan pekerjaan itu dengan berani. Jadi, kerjain aja dengan takut."
Mungkin lebih ke ini ya, daripada memikirkan ketakutan/kecemasan itu sendiri, aku lebih berfikir ke hal apa yang bisa aku lakuin bisa rasa cemas/takut ini selesai? Dengan begitu, aku bisa lebih rileks lagi untuk menjalani hidup. Ajarannya mungkin aku denger nasihat dari orang tua, film, atau video YouTube yang kutonton: Kalau punya masalah, coba fokus ke penyelesaiannya. Quote ini sih yang bikin aku suka berfikir dan bagi sebagian orang aku jadi terlihat sebagai orang yang serius.
Think of your strongest wishes moment
Tahun lalu, ketika ada kejadian cukup mengagetkan di rumah, hingga aku merasa, apakah aku menimbulkan suatu keributan yang heboh? Maka aku berdoa kepada Allah untuk diberikan petunjuk. Aku meminta di kegelapan ini, ada satu cahaya yang tiba-tiba datang dan mengajakku menemukan jalan keluar. Jika sekiranya aku menimbulkan suatu keributan yang heboh, aku bisa mengatasinya.
Akhir tahun 2021, Allah menunjukkan jalannya. Ada cahaya di satu sudut jalanku yang sedang gelap. Cahaya itu menunjukkanku bahwa satu keributan bukanlah suatu hal yang otomatis membuatku buruk, toh aku punya alasan dan perasaan dari orang-orang terdekat yang membuatku berani untuk mengambil tanggungjawab. Setiap keributan yang kubuat, sebisa mungkin aku menyelesaikannya. Kurasa, aku bisa menyelesaikannya, walau waktunya agak lama.
Dari kejadian ini, aku merasa Allah sudah mengabulkan satu doa, yang akhirnya menjadikan cahaya bagi hal-hal lainnya. Aku mulai menyusun rencana keuangan, pendidikan, kursus yang ingin kuikuti, dan hal-hal kecil layaknya bercengkrama dengan teman dan saudaraku.
What if your fear and strength meet in one room?
Kecemasan dan kekuatanku akan menjadi layaknya kembang api. Menimbulkan percikan namun indah. Akan ada panas yang mengenai tangan di awal menyalakan kembang api, namun ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat percikannya mulai menyala dari ujung dan menjalar hingga ke garis terakhir.
Ya, kurasa seprti itulah akhirnya. Mungkin, setiap kesalahpahaman dan kehebohan yang telah terjadi; penyelesaian masalahku yang kurang baik, pada akhirnya mengantarkanku pada impianku. Aku akan punya 100jt, akan punya rumah, dan akan punya kamu. Tidak ada jalan yang mudah menuju kesuksesan, maka begitu pula padaku. All my way has been tough, but I did it tho. I’m not that smart, I’m not that nice, but I know I’m lucky. Jadi, kujalani apa yang bisa kujalani, serta tetap menyemangati diriku untuk melakuan yang terbaik.
Ini seperti pengalaman pertamaku dalam memasak nasi goreng ala abang-abang street food. Meskipun nasi goreng bisa dibilang gampang cara pembuatannya, tapi aku gagal di percobaan pertama, nasi gorengnya terlalu asin. Begitu juga percobaan selanjutnya, nasi masih terlalu lengket. Tapi, kapan lalu, aku berhasil membuat nasi goreng yang enak. Sampai aku bergumam dalam hati, "Tumben, enak."
Begitu juga aku dalam menghadapi rasa takutku. Tidak apa-apa jika aku gagal di percobaan pertama; nanti juga aku bisa menghadapi rasa takutku dan tak terasa sudah berhasil melaluinya. Dan biasanya aku bergumam, "Eh, kemarin kayanya masih takut. Kok sekarang engga?"
Apa rasanya setelah barusan mengurai rasa takut?
Semenjak kuliah, aku terbiasa menuliskan rasa takutku. Beberapa terjadi, tapi kebanyakan rasa takut yang kutulis itu tidak terjadi. Kukira menulis seperti ini adalah hal mudah karena sudah biasa kulakukan dari dulu. Tapi, nyatanya malam ini aku menangis. Kenapa ya? Apakah karena aku sedang demam dan lelah sepulang bekerja? Atau terlalu banyak keraguan/kecemasan dalam diriku, sehingga tangisan ini perwakilan dari kecemasan-kecemasan yang tak bisa kutuliskan? Ada perasaan lega dalam setiap ketikan dan agak kaget ternyata belum punya 100jt, belum punya rumah, dan belum punya kamu cukup membuatku menangis, hingga adikku tidak jadi masuk ke kamar.
***
Pertanyaannya sederhana, ya? Tapi, percayalah, tiga-empat menit yang diberikan untuk menulis jawabannya tidak sesederhana pertanyaanya 😅 Melalui les menulis ini juga disampaikan bahwa menulis juga berproses, nggak bisa sekali tulis hasilnya langsung bagus dan menyentuh pembaca. Tulisan yang aku tulis di sini pun sudah aku sunting ulang dari draft awal yang kutuliskan.
Anyway, Les Menulis ini dibagi dalam 4 sesi:
- Sesi 1: Takut dan Kecemasan (yang kutulis saat ini)
- Sesi 2: Kemarahan
- Sesi 3: Sedih dan Duka
- Sesi 4: Bahagia dan Harapan
Sesi les menulisnya santai dan seru. Melalui Zoom meeting, kita dibimbing oleh Kak Mufidah dari Arsanara sebagai Psikolog dan Kak Izzati sebagai —sebut saja— Coach Writer-nya. Nantinya kita dikasih prompt (pertanyaan pemantik) dan dikasih waktu 3-4 menit untuk menulis.
Setelah menuliskan prompt, ada sharing session. Di sini serunya. Kita bisa sharing tentang perasaan sesuai topik yang lagi dibahas. Nanti Kak Mufidah akan menjelaskan tentang emosi yang kita ceritakan dan jika ada pertanyaan, maka dijawab dari sisi psikologinya juga.
Comments
Post a Comment