An extrovert grown up girl from a small city into a big world. I like things that relate to books, beauty, travel, and technologies. I share you here about my experiences, reviews, and self improvement. Enjoy my blog!
Tahun 2016, Raphael Wregas Bhanuteja atau biasa dipanggil Wregas mendapatkan penghargaan film pendek terbaik di Semaine de la Critique, Festival Film Cannes dengan judul film Prenjak / In the Year of Monkey. Tak dipungkiri lagi, Wregas memang sudah banyak berkecimpung di dunia perfilm-an Indonesia seperti menjadi sutradara Tak Ada yang Gila di Kota Ini dan terlibat sebagai Behind The Scene Director pada film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2).
Selama masa produksi, Wregas sering menggunakan kejadian-kejadian di lingkungannya sebagai ide film. Pada film Prenjak, Wregas menggunakan pengalaman temannya semasa SD yang pernah ditawari sebatang korek api oleh seorang gadis. Satu batang korek api seharga sepuluh ribu rupiah. Harga tersebut bisa dibilang mahal pada zaman Wregas bersekolah. Ternyata, ada suatu alasan mengapa harga sebatang korek api bisa begitu mahal dan Wregas menyampaikan pesan-pesannya melalui film Prenjak.
Sabtu, 11 April 2020, Wregas memposting salah satu poster film yang sempat disutradarainya berjudul Lemantun. Lemantun merupakan sebuah film pendek Tugas Akhir Fakultas Film & Televisi - Institut Kesenian Jakarta tahun 2014. Pada caption postingan tersebut, Wregas menginformasikan bahwa film Lemantun dapat dinikmati secara publik dalam rangka berbagi kisah selama physical distancing.
Setelah menonton film dan behind the scene film tersebut, bisa diringkas bahwa Lemantun menceritakan sebuah pertemuan keluarga; Ibu dan kelima orang anaknya yang bisa dibilang sukses karena telah memiliki pekerjaan dan keluarga kecuali anak ketiga yakni Tri. Pertemuan tersebut dilakukan di rumah Ibu dengan maksud Ibu ingin membagikan warisan kepada kelima anaknya. Warisan yang dibagikan bukanlah harta atau tanah melainkan sebuah lemari (lemantun dalam Bahasa Jawa).
Sambil menunggu Tri membuat lotre, Ibu menceritakan mengapa warisan yang beliau berikan kepada anak-anaknya adalah lemari. Ada lima lemari di rumah Ibu. Zaman dahulu, setiap ada kelahiran anak baru, Bapak selalu membeli lemari sebagai hadiah. Tri selesai membuat lotre. Setiap anak mengambil lotre tersebut dan mendapatkan lemari sesuai dengan nomor yang muncul pada lotre yang telah diambil. Ibu ingin lemari-lemari tersebut segera dibawa pulang ke rumah tiap anak, setidaknya sampai sore pada hari itu. Setiap anak pun langsung sibuk mengangkut lemari masing-masing.
Tri ikut membantu mengangkut lemari anak pertama. Ia bahkan berbaik hati membuat kopi untuk anak pertama dan membelikan bensin untuk motor bak yang disewa anak pertama supaya cukup untuk mengangkut lemari sampai di rumah. Anak pertama sempat menolak tawaran Tri agar mengisi bensin motor bak karena dirasa bensin masih sanggup mencapai tujuan. Tri kekeuh untuk tetap membeli bensin di tetangganya karena bensin jualannya habis.
Semua anak sudah mengangkut lemari ke kendaraannya ketika hari mulai sore. Namun, Tri masih keluar membeli bensin. Keempat anak pun pamit kepada Ibu tanpa adanya Tri.
Ketika Tri kembali dari membeli bensin, ia mendapati saudara-saudaranya telah pulang. Tri pun masuk ke dalam rumah dan mengamati lemari miliknya di dapur. Ia dengan bingung memegang lemari tersebut. Ibu datang untuk memasak. Tri bilang bahwa ia akan meletakkan lemari di rumah temannya. Ibu bilang tidak perlu. Lemari itu boleh tetap berada di rumah daripada merepotkan orang lain. Tri duduk dan terlihat menerawang. Kemudian, Ibu meminta Tri untuk menjaga masakannya karena Ibu akan pergi mandi. Tri mengangguk sembari membantu Ibu berdiri. Maklum, Ibu sudah sangat tua dan agak susah kalau mau berdiri dari duduk.
Tri kembali duduk dengan tatapan menerawang. Ia seketika terkejut ketika mendengar suara jatuh yang lumayan nyaring dari dalam kamar mandi.
Beberapa saat setelah pembagian lemari, masing-masing anak memilih jalannya sendiri dalam menggunakan lemari. Ada yang digunakan di kantor, di tempat praktik, dan ad apula yang menjualnya. Sedangkan Tri, ia masih tinggal dan berjualan bensin di rumah Ibu. Lemarinya pun digunakan sebagai tempat penyimpanan bensin di depan rumah.
Film ini begitu singkat dan sederhana. Ada nilai moral dan filosofi yang bisa diambil karena film ini menonjolkan sisi emosi dan permasalahan yang umum terjadi. Hal tersebut ditunjukkan pada cara berdialog masing-masing tokoh, seperti anak pertama yang agak sombong dan begitu bangga dengan gelar Drs.-nya, anak keempat dan kelima yang kurang begitu peduli selama pertemuan karena tanpa mendapatkan lemari mereka juga tidak apa-apa, dan tokoh Tri yang begitu dikedepankan pada film ini.
Tri memang belum mendapatkan pekerjaan dan belum berkeluarga, tapi ia memiliki sikap rendah hati dan berbakti kepada keluarganya. Sikap tersebut ditunjukkan pada adegan-adegan berikut:
Tri mengusulkan untuk membuat lotre dari kalender bekas ketika saudaranya ribut lotrenya harus dicetak menggunakan printer supaya rapi.
Tri langsung membuat kopi begitu Ibu menyuruhnya untuk diberikan kepada saudara-saudaranya beserta tukang angkut lemari.
Tri menawarkan anak pertama untuk dibelikan bensin meskipun ia harus membeli ke tetangga dan ditinggal pergi oleh saudara-saudaranya.
Tri membantu Ibu berjalan setelah tragedi Ibu terpeleset di kamar mandi.
Tri menggunakan lemari pemberian Ibu untuk berjualan bensin.
Isu yang daingkat pada film ini adalah pandangan ketika seorang anak belum memiliki pekerjaan dan belum berkeluarga sedangkan saudara-saudaranya telah bekerja dan berkeluarga. Ide pembuatan film ini pun terinspirasi dari pengalaman Wregas yang pada suatu hari sedang mendatangi pertemuan keluarga di rumah nenek (Eyang). Tiba-tiba Eyang membagikan lemari kepada anak-anaknya dan meminta lemari-lemari itu sudah harus diangkut sore hari itu juga.
Lemari pada film Lemantun ini juga memiliki nilai filosofis dimana ada adegan Tri yang masuk dan tertelungkup di dalam lemari, menggambarkan bahwa lemari layaknya rahim ibu yang nyaman untuk ditinggali.
Comments
Post a Comment